Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

Beranda » 2017 » Juni

Monthly Archives: Juni 2017

REKLAMASI JUSTRU MERUSAK TELUK KENDARI

Kota Kendari memiliki teluk dengan pintu masuk dari timur, arah laut Banda (laut terdalam di Indonesia. Keberadaannya alamiah, menjadi salah satu ikon ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Tentunya selain ikon buatan seperti tugu terlantar persatuan di tengah Kota Kendari.

Di pesisir bagian utara teluk, tepatnya daerah Kendari Beach, masyarakat menjadikannya tempat rekreasi atau sekadar melepas penat di sore hari atau malam hari. Malam Minggu lebih ramai lagi. Di sana tersaji aneka jajanan, seperti es teler, pisang epe. Pengunjung dapat menikmati jajanan itu sambil menyaksikan ombak kecil tengah memainkan kapal tradisional para nelayan tangkap yang berlabu. Generasi muda, dulu menyebut pesisir itu dengan Kebi, singkatan Kendari Beach, dan belakangan populer lagi dengan sebutan Pirla alias pinggir laut.

Sayangnya, suguhan pemandangan alam teluk Kendari, belakangan banyak mengalami perubahan. Pada saat-saat tertentu, teluk terlihat seperti padang pasir yang becek, berair. Tidak tertutup kemungkinan, satu saat tak perlu menggunakan perahu untuk menjangkau daratan seberang. Teluk Kendari akan menjadi daratan yang cukup lapang. Tidak hanya itu, juga akan menjadi lahan baru bagi para pemulung sampah. Cukup banyak sampah yang bisa diperoleh.

Gambaran di atas akan menjadi kenyataan bilamana sedimentasi terus menerus terjadi. Sedimentasi (penumpukan sedimen) merupakan salah satu dampak dari adanya tekanan fisik pada ekosistem perairan. Ini ditandai dengan laju pendangkalan akibat intrusi sedimen yang telah mengakibatkan peningkatan luas daratan dalam badan Teluk.

Polusi sedimen dianggap menjadi salah satu risiko utama lingkungan air, karena banyak organisme air yang menghabiskan sebagian dari siklus hidup mereka pada sedimen (Hortellani, 2013).

Jumlah sedimen yang banyak di dalam air memberikan dampak buruk seperti menurunkan kualitas air (air menjadi keruh), mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air sehingga mengurangi kecepatan fotosintesis, mengurangi populasi ikan dan hewan air lainnya, karena telur dan sumber-sumber makanan di dalam air tertutup oleh sedimen. Sementara diketahui perairan Teluk Kendari sejak lama dijadikan lahan untuk pengembangan produksi perikanan.

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UHO telah memprediksi sedimentasi itu sejak tahun 2003. Disebutkan bahwa Sungai Wanggu, Kambu, dan Mandonga adalah tiga sungai menyumbang sedimentasi terbesar yakni sekitar 1.330.281 m3/tahun dengan laju pendangkalan 0,207 m/tahun. Diperkirakan dalam 10 tahun mendatang, kontur kedalaman 1,2 sampai 3 meter berubah menjadi daratan seluas 923,4 hektar, sehingga perairan Teluk Kendari tinggal 197,1 hektar. Lebih jauh lagi diprediksi sampai 24 tahun mendatang kontur kedalaman 1, 2, 3, 4, sampai 10 meter berubah menjadi daratan seluas 1.091,1 hektar, sehingga Teluk Kendari sisa seluas 18,8 hektar.

Sumbangan sedimen terbesar yang dapat dilihat secara kasat mata saat ini adalah adanya penimbunan tanah dan batu di pinggir teluk yang terjadi hampir di segala sisi. Pada sisi Selatan, jalan menuju pelabuhan Samudera, terlihat aktivitas penimbunan teluk dengan cara membuat petak petak kaplingan laut, yang terus mendesak badan Teluk Kendari. Di sisi Barat teluk, penimbunan membuat jalan menjulur ke arah teluk juga dilakukan melalui proyek pemerintah. Demikian pula penimbunan besar-besaran yang juga diproyekan oleh pemerintah di sisi Utara (bagian kemarau). Jadi, sesungguhnya pemerintahlah yang saat ini mempunyai andil besar untuk memperkecil luasan teluk. Aktivitas penimbunan ini adalah upaya reklamasi dari pemerintah untuk meningkatkan peran kawasan Teluk Kendari.

Jauh sebelumnya, sumbangan sedimentasi juga datang dari dari aktivitas pedagang (rutin dan musiman) di sepanjang area Kendari Beach, seperti kulit buah durian, rambutan, dan lainnya yang ikut terbuang ke dalam teluk. Juga sampah botol bekas minuman, bungkus rokok, dan sebagainya.

Sumbangan sedimentasi lainnya adalah aktivitas beberapa dermaga yang ada dalam kawasan teluk. Tidak hanya menyebabkan sedimentasi, keberadaan pelabuhan menyebabkan lalu lintas pelayaran menjadi ramai. Sehingga tumpahan minyak, cat, karatan dinding kapal dapat menjadi zat-zat pencemar perairan.

Kondisi tersebut menggerakkan pemerintah untuk memperbaiki keadaan yang jika dibiarkan tentu akan semakin memburuk. Revitalisasi dalam bentuk reklamasi sepertinya menjadi satu-satunya cara bagi pemerintah. Entah karena murni kesadaran ekologis, atau justru profit oriented.

Sempat membaca naskah presentase pemerintah terkait pengerukan dan reklamasi Teluk Kendari. Dengan didasarkan pada kenyataan pendangkalan teluk, maka upaya reklamasi dijadikan upaya antisipatif untuk menyelamatkan Teluk Kendari dari sedimentasi dan pencemaran, sekaligus meningkatkan manfaat ekonomi, lingkungan dan estetika. Salah satu langkahnya adalah menetapkan kawasan Teluk Kendari sebagai kawasan strategis ekonomi dalam dokumen RTRW provinsi dan Kota Kendari. Beberapa rencana kawasan Teluk Kendari yang tertuang dalam naskah tersebut diantaranya pembangunan mesjid Al-Alam, pembangunan jembatan Bahteramas, Hotel, Mall, Taman Kota dan Plaza.

Faktanya beberapa rencana tersebut memang sedang dijalankan. Saya pikir tidak ada masalah dengan rencana-rencana tersebut, toh juga untuk kepentingan publik yang nantinya akan semakin mengembangkan Kota Kendari, khususnya dan Provinsi Sultra umumnya.

Pembangunan Masjid Al-Alam yang dibangun untuk tujuan mulia sejatinya tidaklah menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat jika sekiranya dibangun dengan asas ramah lingkungan. Oleh karena itu, Sangat disayangkan jika rencana pengembangan kawasan Teluk Kendari justru akan semakin memperparah kondisi lingkungan perairan yang semula diniatkan untuk revitalisasi.

Upaya reklamasi semakin nyata. Menurut informasi dari pekerja setempat, lokasi tersebut akan dibangun pelabuhan kapal nelayan. Ini bukan daratan satu-satunya, tetapi masih ada beberapa daratan lain yang entah apa peruntukannya.

Tidak jauh dari lokasi tersebut, rencana pembangunan pelabuhan kapal nelayan itu ada Water Sport Centre yang nampaknya telah siap dimanfaatkan. Secara gramatikal, Water Sport Centre diartikan sebagai pusat olahraga air. Tak tahu jenis olahraga air macam apa yang akan digiatkan. Sementara wahana tersebut dikelilingi oleh daratan hasil sedimentasi dengan warnanya yang hitam pekat, pertanda telah banyak unsur-unsur pencemar yang dikandungnya.

Belum lagi sampah-sampah serta puing-puing kayu sisa kapal rusak dan sisa bangunan yang sungguh mengganggu pemandangan. Air laut tak lagi biru, mengikuti warna sedimen yang secara fisik lebih cocok dikatakan air limbah. Itu adalah limbah yang terbuang dari aktivitas pemukiman, wisata pinggir laut, limbah kapal, dan sebagainya.

Dampak positif kegiatan reklamasi tentulah peningkatan kualitas dan nilai ekonomi kawasan pesisir, mengurangi lahan yang dianggap kurang produktif, dan penambahan wilayah. Namun dampak positifnya masih terkalahkan oleh dampak negatifnya yang sifatnya jangka panjang. Dampak tersebut meliputi dampak fisik seperti perubahan hidro-oseanografi, erosi pantai, sedimentasi, peningkatan kekeruhan, pencemaran laut, intrusi air laut ke air tanah, peningkatan potensi banjir dan penggenangan di wilayah pesisir.

Dampak biologis berupa punahnya biota laut sebagai sumber protein terbesar, terganggunya ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria dan penurunan keaneka ragaman hayati. Sedangkan dampak sosialnya, berupa hilangnya mata pencaharian atau penurunan pendapatan para petani tambak, nelayan dan buruh (Ruchat Deni Djakapermana, 2010).

Definisi reklamasi adalah proses pembentukan lahan baru di pesisir atau bantaran sungai. Tujuan utamanya adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat.

Dalam teori perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Biasanya reklamasi dilakukan oleh negara atau kota besar dengan laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat pesat, tetapi mengalami kendala keterbatasan lahan. Kondisi ini tidak lagi memungkinkan untuk melakukan pemekaran ke daratan, sehingga diperlukan daratan baru.

Merujuk pada teori itu, maka pemerintah belum pantas untuk melakukan reklamasi dengan tujuan pengembangan ekonomi. Toh masih banyak daerah daratan yang belum dimaksimalkan. Mengapa harus laut yang ditimbun. Hanya akan semakin memperkecil wilayah perairan Kendari.

Pembangunan yang dimaksudkan untuk mensejahterakan manusia, cepat atau lambat justru menimbulkan bencana dan mengancam kehidupan manusia. Disebabkan ketiadaan kearifan terhadap masa depan, terutama kearifan terhadap lingkungan hidup.

Arne Naes dalam (Anies, 2006) menjelaskan bahwa krisis lingkungan saat ini hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan paradigma dan perilaku manusia terhadap lingkungan secara fundamental.

Reklamasi hanya akan merusak lingkungan perairan Teluk Kendari. Kerusakan lingkungan pada akhirnya akan menurunkan derajat kesehatan manusia. Sebab lingkungan memberikan pengaruh yang sangat besar.

Oleh karena itu, bukan revitalisasi yang profit oriented yang perlu dilakukan melainkan revitalisasi yang beretika lingkungan. Selamatkan laut Kendari dari pencemaran dan pendangkalan. Lakukan pengerukan tanpa reklamasi dan penanaman bakau untuk meminimalisir cemarannya. Setidaknya kita dapat memulihkan kembali habitat biota laut (ikan dan kerang) sebagai sumber protein terbesar yang menyuplai gizi bagi kesehatan masyarakat.

Selamat Hari Kesehatan Nasional 12 November. Kita Sehatkan Masyarakat lewat lingkungan yang sehat.

by: Sri Damayanty | Diterbitkan 19 November 2015

MENGHINDARKAN ANAK-ANAK DARI BAHAYA ASAP KABUT

by: Nurhalina Ahmadi, SKM,M.Epid | Diterbitkan 20 Oktober 2015
(Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya)

 

Kurang lebih 3 bulan lamanya beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera terkena bencana asap kabut akibat kebakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali. WHO (2015), memperkirakan kurang lebih 20 juta penduduk Indonesia terpapar asap kabut yang membahayakan kondisi kesehatan masyarakat hingga dapat menimbulkan kematian. Pada tingkat ringan asap kabut dapat menyebabkan iritasi lokal pada selaput lendir di hidung, di mulut dan tenggorokan hingga menimbulkan peradangan dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pada tingkat yang berat asap kabut dapat menimbulkan pneumonia dan asma. Namun keterpaparan asap kabut dalam waktu yang lama dapat menyebabkan penurunan fungsi paru dan saluran pernapasan sehingga tubuh lebih mudah terinfeksi dan terserang kanker paru-paru.

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2015), Frekuensi kumulatif ISPA akibat asap kabut di Indonesia pada tanggal 29 juni- 5 oktober 2015 mencapai 307.360 dengan dose respon 15- 20 % setiap hari. Artinya potensi peningkatan gangguan pernapasan akibat asap kabut akan terus meningkat apalagi pada kelompok berisiko seperti anak-anak, bayi, Balita, Lansia dan orang dengan riwayat alergi (asma). Selain itu belakangan ini kita dikejutkan dengan tingginya kejadian diare di daerah-daerah yang terkena asap kabut. Walaupun belum ada penelitian tentang hubungan asap kabut dengan kejadian diare, namun hal ini diduga akibat kondisi sumber air bersih yang tercemar, kuantitas air bersih yang kurang karena musim kemarau yang berkepanjangan. Selain itu karena perilaku hidup bersih dan sehat serta kondisi kekebalan tubuh yang menurun akibat asap kabut. Tak dapat dipungkiri bahwa anak-anak adalah kelompok yang sangat menderita akibat bencana asap kabut, dimana lebih dari 30 % penderita gangguan pernapasan dan diare yang dilaporakan adalah kelompok anak-anak termasuk bayi dan Balita bahkan sudah ada yang meninggal dunia.

Anak anak merupakan kelompok risiko tinggi terkena dampak kesehatan akibat asap kabut karena kekebalan tubuh pada anak belum optimal, tingkat adaptasi yang masih rendah ditambah lagi karena kehidupan anak anak yang sepenuhnya masih tergantung orang tua, keluarga dan lingkungan sekitar. Semua anak di dunia ini menginginkan kehidupan yang layak secara lahiriah dan bathiniah. Walaupun mereka belum bisa berdiri dan berkata lantang layaknya orang dewasa, mereka juga ingin hidup layak dengan udara yang segar, air yang bersih, makanan yang bergizi serta lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak yang penuh kasih sayang. Ironisnya dengan asap kabut yang berkepanjangan kita akan melahirkan generasi asma dan kanker paru-paru. Tak heran ketika saya bekerja di Palangka Raya, dimana-mana saya menemukan teman dengan riwayat asma, suatu hal yang jarang saya temui ketika saya berada di kota-kota lain.

Seperti orang tua yang lain, kita tentu ingin agar anak anak kita sehat. Kita tahu bahwa kesehatan yang baik merupakan kondisi yang penting jauh melebihi keadaan sekedar tidak sakit. Sehat berarti mempunyai tenaga yang banyak untuk bermain maupun untuk bekerja, mempunyai tenaga yang kuat untuk diandalkan untuk berjalan, berlari, mendaki dan merentangkan badan. Mampu untuk melihat huruf kecil dalam buku, mampu mendengar desiran angin di rumput dan suara guru di dalam kelas. Anak anak yang sehat mempunyai kondisi fisik yang prima. Mereka belajar lebih cepat, mereka ceria, lebih pandai, selalu bergembira dan aktif dalam permainan, lebih mampu untuk menikmati segala sesuatu yang baik dalam hidup. Anak-anak yang sehat juga lebih cenderung menjadi orang dewasa yang sehat. Makan, olah raga, dan istrahat merupakan keniscayaan sebagian dari kesehatan. Namun dalam menghadapi bencana orang tua harus lebih proaktif sehingga anak-anak kita terhindar dari bahaya akibat asap kabut yang berkepanjangan.

ASI Esklusif.
Menurut Watania JM, dkk (2008), pemberian ASI kepada bayi akan memberikan proteksi terhadap ISPA dalam satu tahun pertama. Namun dengan bertambahnya usia Balita, kadar immunoglobulin pada ASI pun akan berkurang, sehingga bila pemberian ASI diberikan lebih lama tidak terlalu berpengaruh pada ketahanan tubuhnya dalam mengatasi mikroorganisme penyebab ISPA. Oleh karena itu anak-anak setelah enam bulan akan diberikan makanan pendamping ASI yang bergizi dan setelah 1 tahun anak-anak mulai diperkenalkan dengan makanan empat sehat lima sempurnah.

Imunisasi
Penelitian Ribka Rerung Layuk dkk (2013), bahwa semua Balita di Lembang Batu Sura dengan imunisasi yang tidak lengkap 100 % terserang ISPA. Meskipun tidak ada hubungan antara imunisasi dengan ISPA namun kebanyakan kasus ISPA terjadi disertai dengan komplikasi campak yang dapat dicegah melalui imunisasi. Imunisasi campak dan difteri yang diberikan bukan untuk memberikan kekebalan terhadap ISPA secara langsung namun untuk mencegah faktor yang memicu terjadinya ISPA. Walaupun demikian masih ada kejadian ISPA pada Balita yang imunisasinya telah lengkap karena dipengaruhi oleh faktor gen dan kualitas vaksin. Penelitian Deb SK, anak yang tidak mendapat imunisasi memiliki risiko 2,7 kali untuk mengalami ISPA.

Makanan yang bergizi dan banyak minum air putih
Makanan yang baik berkhasiat memajukan kesehatan anak dan seluruh keluarga, membangun badan yang kuat; makanan yang baik, akan memberikan perasaan disayangi dan dilindungi. Untuk itu pada ibu harus memahami bahwa setiap hari anggota keluarga membutuhkan makanan empat sehat lima sempurnah yang cukup kalori, mineral, protein, kalsium dan zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh menjadi kuat. Selain itu dianjurkan perbanyak minum air putih karena ISPA yang diderita akan menghabiskan cairan tubuh melalui keringat, ingus dan ludah. Minum air putih sangat bermanfaat untuk melegakan tenggorokan dan menjaga keseimbangan metabolisme.

Suplementasi Vitamin A
Vitamin A berfungsi memperkuat sistem kekebalan tubuh untuk anak, bayi dan Balita, remaja dan orang tua yang lanjut usia. Kekurangan vitamin A meningkatkan risiko anak terkena penyakit infeksi seperti ISPA, campak dan diare. Penelitian Kholisah Nasution dkk (2009), menunjukkan bahwa proporsi Balita yang rutin mendapatkan suplementasi Vitamin A lebih sedikit terjadinya ISPA dibandingkan Balita yang tidak rutin mendapatkan suplementasi Vitamin A. Namun penggunaan vitamin dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan gangguan pada fungsi ginjal dan hati, oleh karena itu orang tua perlu memperhatikan tata cara pemberian suplemen ini sesuai dengan petunjuk yang ada. Vitamin A bisa ditemukan dalam berbagai jenis makanan , minyak ikan, daging, mentega, telur, yogurt, keju dan juga susu.

Belajar Menggunakan masker dan Mengurangi Aktivitas ke Luar Rumah
Pada umumnya anak-anak tidak mau bekerjasama untuk hal-hal yang baru terumata menggunakan masker pada musim asap. Sehingga tak jarang kita menjumpai anak-anak yang tidak menggunakan masker ketika ke luar rumah walaupun dalam suasana asap yang pekat. Untuk itu orang tua harus memberikan contoh kepada anak-anak dalam hal penggunaan masker. Orang tua sebisa mungkin dapat memberikan pengertian kepada anak-anak agar mau menggunakan masker. Perlu disadari bahwa masker yang terstandar sekalipun masih punya kekurangan karena tidak bisa memproteksi gas yang masuk hingga100 %. Pajanan seperti CO (Karbon Monoksida) dan NO (Nitrogen Monoksida) masih tetap bisa tembus sekalipun memakai masker N95. Oleh karena itu sedapat mungkin orang tua dapat mengurangi aktivitas anak-anak di luar rumah apalagi bayi karena hingga saat ini belum ada masker khusus buat bayi.

Menghindarkan anak dari asap rokok
Penelitian Ribka (2013), proporsi ISPA pada Balita dengan anggota keluarga yang merokok di Lembang Batu Sura sebesar 85,1 % dan risikonya akan meningkat 2 kali lipat dalam kondisi asap kabut. Keterpaparan Balita akan asap di luar rumah sangat tinggi, oleh karena itu kita orang tua dan keluarga sebisa mungkin agar menghindarkan anak dari keterpaparan asap rokok terutama di dalam rumah. Biasanya anggota keluarga merokok di dalam rumah pada saat bersantai, menonton TV atau bercengkrama dengan anggota keluarga lainnya. Anak dengan anggota keluarga yang merokok lebih sering menderita gangguan pernapasan dibanding anak-anak dengan anggota keluarga yang tidak merokok (Khatimah, 2006).

Meliburkan Anak ke Keluarga yang Bebas Asap Kabut
Meliburkan anak ke rumah keluarga yang bebas asap kabut kadang merupakan keputusan yang berat bagi orang tua, apalagi harus berjauhan dengan anak-anak yang disayanginya. Namun alternative ini tidak selamanya buruk apabila kita melihat nilai positif dibalik itu. Upaya meliburkan anak-anak ke luar daerah pada musim asap ini merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan anak-anak dari paparan asap kabut yang berkepanjangan. Tentunya dengan jaminan anak-anak yang diliburkan ke luar daerah mendapat kehidupan yang layak dan kasih sayang yang berlimpah, sehingga orang tua tidak merasa khawatir apabila anak-anak harus berjauhan dengan orang tua.

Segera Memeriksakan Anak ke Pelayanan Kesehatan Terdekat Apabila Anak/Bayi Terserang ISPA
Pada kondisi yang normal ISPA merupakan penyakit ringan, namun dalam kondisi yang ekstrim seperti bencana asap kabut orang tua harus waspada dengan status kesehatan anak/ bayi. Ada baiknya orang tua segera membawa anak ke dokter atau pelayanan kesehatan terdekat apabila anak terserang ISPA atau sesak napas. ISPA dalam kondisi lingkungan yang ekstrim dapat berkembang menjadi infeksi yang berat seperti pneumonia, asma dan tak jarang menimbulkan kematian.

KABUT ASAP, KELALAIAN BERULANG

by: Sri Damayanty, SKM.,M. Kes | Diterbitkan 10 Oktober 2015

 

Mohon doanya saudara sebangsa dan setanah air. Hari ini asap pekat kembali menyelimuti Riau. Kepekatannya mungkin empat kali Iipat dari sebelumnya. No Electric, no school, no flight, no oxygen. Demi Allah, ini terasa seperti Genosida! Negara sedang membunuh 6,3 juta rakyat Riau pelan-pelan. Kami cuma diberi masker kue, bukan masker standar sesuai status tanggap darurat bencana. Kualitas udara bukan lagi berbahaya, tapi sudah merusak bahkan membunuh. Partikel berbahaya ini sudah dua bulan kami hirup tanpa henti. Sudah 55 ribu warga, mayoritas balita dan orang tua, bertumbangan karena asap. Ini bukan lagi bencana biasa.

Demikian broadcast warga Riau, Afni Zulkifli, yang beredar, Selasa (6/10/2015). Afni yang juga jurnalis Harian Riau Pos minta masyarakat Indonesia mendoakan mereka agar tetap bernafas dan bisa melawan asap. Penderitaan serupa juga dialami kota lain di Sumatera dan Kalimantan, juga negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.

Pada daerah-daerah tersebut menghirup udara bersi tidak lagi gratis, harus mengeluarkan rupiah untuk membeli masker (penutup hidung). Itu masih murah karena hanya bernilai Rp 2000,- per lembar untuk digunakan sekali sehari saja. Belum dihitung biaya pengobatan karena menderita batuk berkepanjangan. Istilah medisnya ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Penyakit ini berlangsung cukup lama, bisa bulanan jika penyebabnya tidak terhindarkan. Salah satu penyebabnya adalah asap dan debu.

Bagi penderita ISPA, sangat diharamkan untuk menghirup kedua zat tersebut, sebab akan semakin memperparah penyakitnya. Bahkan di dalam rumah harus menggunakan masker, apalagi jika harus bepergian keluar. Sebab untuk sembuh, penderita diwajibkan menghirup udara yang steril dari debu, asap dan sejenisnya. Saya bisa membayangkan bagaimana sulitnya mengalami itu di daerah berkabut asap dalam waktu yang lama.

ISPA adalah terjadinya infeksi yang parah pada bagian sinus, tenggorokan, saluran udara, atau paru-paru. Infeksi ini lebih sering disebabkan oleh virus atau bakteri. Kondisi ini menyebabkan fungsi pernapasan menjadi terganggu. Jika tidak segera ditangani, ISPA dapat menyebar ke seluruh sistem pernapasan. Tubuh tidak bisa mendapatkan oksigen yang cukup akibat infeksi yang terjadi dan kondisi ini bisa berakibat fatal, bahkan berujung kematian.

Awal tahun 2014 lalu, saya bersama teman-teman mahasiswa Program Pascasarjana Kesehatan Lingkungan UNHAS melakukan Banchmarking ke Malaysia dan Singapura. Di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), sempat mendiskusikan kabut asap Indonesia yang terbawa hingga ke Malaysia selama bertahun-tahun. Tidak hanya pemerintah, para akademisi pun menjadikan asap Indonesia sebagai topik masalah serius.

Malaysia merupakan salah satu negara yang sangat mengedepankan arti pentingnya kebersihan lingkungan, bertahun-tahun terpaksa menjadi korban dari kelalaian kita mengantisipasi kejadian yang berulang-ulang.

Kabut asap yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan mengandung berbagai polutan berbahaya. Seperti partikel atau disebut partikulat matter (PM), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksia (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan ozone (O3).

Kandungan partikulat matter (PM) inilah yang menyebabkan terjadinya ISPA. Senyawa kimia lainnya pun dapat memicu terjadinya kanker paru. Keberadaan senyawa kimia dalam tubuh mampu menghambat suplai oksigen ke otak sehingga dapat menyebabkan gangguan mental yang sangat rentan terjadi pada bayi dan anak-anak. Pada akhirnya, Indonesia menjadi rawan akan generasi yang keterbelakangan mental.

Kebakaran hutan memberikan akibat yang sangat kompleks. Dampak jangka pendeknya berupa gangguan kesehatan yang dialami oleh masyarakat sekitar. Data terbaru yang dirilis dalam situs http://www.walhi.or.id tanggal 1 Oktober 2015 menyebutkan bahwa pendeita ISPA telah mencapai jumlah yang sangat besar. Di Jambi 20.471 jiwa, Kalteng 15.138 jiwa, Sumatera Selatan 28.000 jiwa, dan Kalimantan Barat 10.010 jiwa, ini merupakan angka yang sangat fantastis dalam statistik kesehatan.

Disamping itu, aktivitas sehari-hari menjadi terhambat. Sekolah diliburkan, mobilitas terhambat baik udara, laut maupun darat yang berujung pada penurunan produktivitas. Hilangnya sejumlah mata pencaharian khususnya bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada hasil hutan. Tak dipungkiri pula terganggunya hubungan baik antarnegara sebab Malaysia dan Singapura juga diselimuti kabut asap.

Dampak jangka panjang kebakaran hutan berupa hilangnya sejumlah spesies sehingga mengganggu kestabilan flora dan fauna, terganggunya fungsi hidrologis akibat punahnya pepohonan sehingga kualitas air menurun. Hutan pun kehilangan kemampuan menyerap air sehingga sangat potensial terjadi banjir. Kebakaran hutan juga mnyumbang gas-gas rumah kaca (Green House Gases) seperti CO2, NO2, SO2, dan lain-lain sehingga memperparah pemanasan global. Upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir dampak pemanasan global pun menjadi sia-sia.

Tak kalah parahnya lagi, bahwa terbakarnya hutan akan menurunkan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia. Analoginya adalah paru-paru manusia yang mengalami kerusakan, tentu kita akan mengalami kesulitan dalam mengatur nafas. Sebagaimana kita ketahui bahwa hutan dengan jumlah pepohonannya yang banyak berfungsi menghasilkan oksigen (O2) dan menyerap karbondioksida (CO2). Dalam kondisi seperti ini, bisa dipastikan bahwa kualitas udara di Indonesia semakin memburuk.

Asumsi yang memvonis cuaca El Nino sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan sangatlah dangkal. Meskipun cuaca panas dan kering, jika tak ada sumber api dan pemantiknya maka mustahil terjadi kebakaran yang hebat.

Hasil analisis WALHI mempertegasnya. Tanggal 1 Oktober 2015 WALHI mengeluarkan hasil analisis kebakaran lahan dan hutan yang menunjukkan peran korporasi (kelompok usaha) lewat jejak-jejak api yang difokuskan pada 5 propinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kebakaran hutan dan lahan selama 18 tahun menjadi fakta bahwa monopoli kawasan hutan dan lahan untuk pengembangan investasi perusahaan menjadi penyebab utama kebakaran dan polusi asap di Indonesia.

Dalam laporannya, WALHI menyebutkan beberapa nama perusahaan sebagai penyumbang titik-titik api. Orientasi bisnis menjadikan menjadikan manusia mendalangi terjadinya kebakaran hutan secara liar. Perilaku manusia menjadi tak terkendali lagi. Ini sejalan dengan pandangan Hendrick L. Blum (tokoh ilmu kesehatan masyarakat) bahwa derajat kesehatan lebih besar dipengaruhi oleh perilaku manusia.

Dalam UU RI No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 69 menjelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (point a) dan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (point h).

Kabut asap adalah peristiwa lampau di Indonesia yang hampir terjadi setiap tahun. Lalu mengapa pemerintah tidak mampu mengatasi hal yang berulang-ulang terjadi dan mengantisipasi lebih dini kejadiannya?

Sepertinya pemerintah kurang maksimal dalam pengawasan yang merupakan tanggungjawabnya. Terkait itu, pasal 71 UU PPLH menjelaskan bahwa menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Lebih lanjut dalam pasal 76 dijelaskan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan (point 1). Sanksi administratif terdiri atas : teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, pencabutan izin lingkungan (point 2).

Cukup jelas undang-undang mengatur dan mengikat kita. Namun mengapa hal ini masih saja terulang. Di tengah kondisi ekonomi bangsa yang semakin melemah, pemerintah harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit sekedar untuk memadamkan api, belum lagi upaya memperbaiki segala kerusakan dan kerugian-kerugian yang terjadi.

Apa yang salah? Haruskah semua unjuk aksi hanya setelah kepulan asap menimbulkan banyak korban? Pantaskah kita bergerak hanya setelah negara tetangga berkicau?

Sudah sepantasnya paradigma berfikir tentang masalah lingkungan dan pengelolaannya dirubah yakni lebih mengutamakan upaya pencegahan. Paham egosentris/antroposentris yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta harus benar-bera kita rubah menjadi paham ekosentris yang menempatkan seluruh unsur di alam ini sebagai kesatuan organis yang saling berhubungan satu sama lain.

Baik pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat bersama-sama menjaga dan melindungi kelestarian lignkungan. Kita tidak boleh menunggu lingkungan kita dibumi hanguskan atau membumi hanguskan kita sendiri. Oleh karena itu, tugas kekhalifahan manusia untuk memakmurkan bumi sebaiknya dilakukan dengan arif dan bijaksana. Bukan dengan eksploitasi tanpa batas dan tanpa tanggungjawab.

(Opini ini telah publish di media lokal Sultra Kini tanggal 6 Oktober 2015 http://www.sultrakini.com/2014/content/view/50337/476/)

PENYAKIT DITA, ANALISIS DUGAAN CEMARAN MERKURI

by: Sri Damayanty, SKM.,M. Kes | Diterbitkan 10 Oktober 2015

 

BEBERAPA hari ini media dihebohkan oleh berita tentang Uncommon Disease yang dirilis oleh sebuah media internasional melalui situs Pulitzer Center on Crisis Reporting yang berpusat di Washington DC. Saya sendiri mulai melek setelah membaca tulisan M Djufri Rachim di situs SultraKini.com sebagai respon dari ramainya diskusi di sosial media. (Baca: Dita Sakit Karena Merkuri atau Kutukan Jin?)

Dalam artikel yang dirilis Pulitzer Center on Crisis Reporting (22 Juli 2015) menceritakan penderitaan Dita yang mengalami kelumpuhan, yang mirip dengan gejala polio. Larry C. Price, penulis artikel itu menduga kuat bahwa kondisi Dita yang semakin memburuk tersebut disebabkan oleh pajanan merkuri hasil aktivitas pengelolaan biji emas yang kemudian dibantah oleh pejabat kesehatan setempat dengan menyebut keracunan merkuri itu sebagai penyakit biasa.

Saya sempat menyimak diskusi yang berlangsung di sosial media, cukup menuai banyak pendapat mengenai sebab terjadinya penyakit yang dialami oleh Dita. Mulai dari pendapat mistis hingga yang ilmiah. Wajar saja jika terdapat perbedaan pendapat, sebab dalam dunia ilmiah kesehatan, mengharuskan kita memiliki data-data akurat untuk menyimpulkan penyebab sebuah gangguan kesehatan.

Dari aspek klinis, gejala yang ditunjukkan Dita sepintas memang terlihat seperti gejala polio. Namun jika kita telaah lebih mendalam maka akan terdapat beberapa hal yang membuat kita cenderung pada dugaan sementara yang menghubungkan dengan cemaran merkuri.

Fakta yang diulas bahwa Dita yang hingga 3 tahun masih dengan kondisi normal, tiba-tiba berubah menjadi kehilangan kemampuan berjalan dan berbicara. Ini sama dengan gejala penyakit Minamata (1955-1960) di Jepang yang mengawali temuan kasus merkuri di dunia.

Mengapa merkuri bisa menimbulkan kelumpuhan seperti pada foto Dita yang ditampilkan melalui media. Hal ini disebabkan karena merkuri merupakan logam berat yang bersifat toksik dan tidak bisa dihancurkan (non-degradable) oleh organisme hidup yang ada di lingkungan sehingga logam-logam tersebut terakumulasi ke lingkungan, yang kemudian secara langsung atau tidak langsung dapat masuk ke tubuh manusia.

Efek toksik merkuri berkaitan dengan susunan syaraf dengan gejala pertama adalah parestesia, lalu ataksia, disartria, ketulian, dan akhirnya kematian. Parestesia adalah kondisi abnormal berupa kesemutan, tertusuk, atau terbakar pada kulit yang umumnya dirasakan di tangan, kaki, lengan, dan tungkai. Ataksia adalah kegagalan koordinasi otot atau ketidakmampuan mengkoordinasi gerakan otot. Sedangkan disartria adalah gangguan bicara yang diakibatkan cidera neuromuscular, gangguan bicara ini diakibatkan luka pada system saraf.

Terdapat hubungan antara dosis merkuri dengan gejala toksisitas, seperti keracunan metal merkuri di Irak yang menunjukkan kadar merkuri pada rambut korban minimum 100 ppm sehingga muncul kasus parestesia. Kasus ataksia terjadi pada kadar merkuri yang ada di rambut korban minimum 200 ppm. Kasus disartria terjadi bila kadar merkuri pada rambut korban mencapai 380 ppm. Dan kasus kematian terjadi bila kadar merkuri pada rambut mencapai 800 ppm (Lu, 1995 dalam Widowati).

Fakta tersebut di atas tentunya dapat menjadi referensi dan pembanding jika saja hasil pengukuran merkuri pada rambut Dita telah dipublish.

Secara langsung, rute masuknya merkuri ke dalam tubuh dapat melalui udara. Misalnya disebabkan oleh aktivitas amalgamasi jika dikaitkan dengan potensi sumber pencemaran di Bombana.

Sebagaimana yang diceritakan bahwa keluarga Dita sebelumnya memang melakukan aktivitas yang cenderung merusak lingkungan sekitar. Enam hingga tujuh tahun lalu, ayah dan ibu Dita secara giat melakukan pembakaran amalgam emas di halaman belakang rumah mereka. Aktivitas tersebut dilakukan secara terbuka oleh para penambang sehingga menghasilkan uap yang mengandung merkuri di udara.

Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian direktur Bali Focus, Yuyun Ismawati, yang menunjukkan uap merkuri di sejumlah wilayah mencapai antara 10.000 – 45.000 nanogram per meter kubik, Hal ini jelas mencemari lingkungan sekitar. Meskipun saat ini, kadar udara di pondok tempat tinggal Dita sudah normal yakni di bawah 25 nanogram per m3. Namun secara teori, bahwa merkuri masuk ke dalam tubuh melalui jalur pernafasan akan diteruskan ke darah dan tersimpan lama di organ-organ penting seperti tulang, ginjal, hati dan otak.

Masih tentang dugaan sumber pencemaran. Keberadaan merkuri di lingkungan Bombana sudah terdeteksi pada tahun 2009 (setahun setelah emas Bombana ditemukan pertama kali). Hal ini terlihat pada hasil pengukuran kualitas air yang mengandung merkuri mencapai 0,89 mg per liter di Bendungan Langkowala. Nilai ini 490 kali lipat dari ambang batas yang ditolerir, yakni 0,002 mg per liter (WHO). Emiyanti, peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UHO Kendari ini, mengukur sampel air tersebut di Laboratorium Kimia FMIPA UHO (Baca: Maut Merkuri di Tambang Emas Bombana).

Disebutkan juga bahwa Bali Fokus (LSM nirlaba yang bergerak di bidang penelitian lingkungan) baru-baru ini melakukan pengukuran udara dengan hasil yang juga melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO).

Merujuk pada data-data tersebut di atas, secara teori dapat kita menduga bahwa telah terjadi pencemaran lingkungan oleh logam berat merkuri. Walaupun diketahui bahwa merkuri merupakan bahan alam yang terdapat dimana saja di lingkungan sekitar, namun keberadaan aktivitas pertambangan menjadi salah satu sumber peningkatkan jumlah merkuri di lingkungan.

Merkuri yang terukur di udara dihasilkan dari asap pembakaran aktivitas amalgamasi. Merkuri yang terukur di air diperoleh dari aktivitas tambang di sungai sehingga merkuri terbawa oleh air, terendap di sedimen (dasar sungai), kemudian terserap oleh hewan-hewan air seperti ikan dan kerang. Ikan atau kerang yang menjadi makanan harian warga setempat inilah yang akan menjadi salah satu jalan masuknya merkuri ke tubuh. Disamping itu, merkuri yang terukur pada beras dan tanah juga menjadi akibat dari keberadaan merkuri di air, yang kemudian air mencemari tanah dan tumbuhan.

Beberapa penelitian juga telah menyebutkan bahwa pengolahan bijih emas dapat menimbulkan cemaran merkuri di lingkungan. Sebuah penelitian di Tasikmalaya menunjukkan bahwa kadar merkuri dalam sedimen S. Cihapitan sebagai daerah aktif pengolahan bijih emas adalah sebesar 0,121-642,105 ppm, di daerah S. Citambal sebagai daerah pengolahan biji emas kadar merkuri adalah sebesar 1,015-10,025 ppm; di daerah S. Ciseel bagian hulu, S. Cigoang, dan S. Ciampanan sebagai daerah yang tidak terdapat aktivitas pengolahan bijih emas memiliki kadar merkuri sebesar 0,121-1,014 ppm (Widiyatna, 2006).

Masih banyak fakat-fakta lain yang menunjukkan adanya pencemaran merkuri akibat pengolahan biji emas atau Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

Ada banyak peristiwa keracunan merkuri di seluruh dunia yang terjadi sekitar tahun 1960an diantaranya : Kasus Minamata, Jepang (1955-1960) mengakibatkan kematian 110 orang, kasus di Irak (1961) mengakibatkan kematian 35 orang dan 321 orang cidera, kasus di Pakistan Barat (1963) mengakibatkan kematian 4 orang dan 34 orang cidera, kasus di Guatemala (1966) mengakibatkan kematian 20 orang dan 45 orang cidera, serta kasus di Nigata, Jepang (1968) mengakibatkan kematian 5 orang dan 25 orang cidera (Widowati, 2008).

Namun, dugaan hanyalah menjadi dugaan tanpa didasarkan oleh fakta ilmiah. Oleh karena itu, memang kita pantas bersabar menunggu hasil pengukuran dari riset peneliti bidang geochemistry. Ataukah kita proaktif untuk turut serta melakukan penelitian guna mengungkap kebenaran atas fenomena tersebut.

Pengujian sampel air, sedimen, biota (ikan atau kerang), serta udara, pengujian biomonitoring (jaringan tubuh manusia) seperti rambut, urine, darah, feses dan tes biopsi hati menjadi hal yang paling penting untuk dilakukan. Metode yang cukup akurat untuk mendeteksi keberadaan logam berat jangka panjang adalah menggunakan sampel rambut. Environmental Protection Agency (EPA) mengulas lebih dari 400 studi tentang penggunaan rambut untuk deteksi logam beracun dan menyimpulkan bahwa rambut memberikan hasil signifikan dan representatif untuk mengukur keberadaan beberapa logam berat termasuk merkuri (Lawrence Wilson, 2013).

Apapun hasil riset terkait penyebab utama dari gangguan kesehatan yang dialami Dita, baik itu membenarkan dugaan atas cemaran merkuri, maupun tidak, maka penulis ingin mengingatkan kepada kita semua bahwa pencemaran lingkungan (merkuri misalnya) mutlak akan terjadi esok hari jika kita tidak bijaksana terhadap lingkungan. Sebab lingkungan memiliki prinsip daya dukung yakni kemampuan lingkungan mendukung berbagai kehidupan. Jika kita bisa bersikap ilmiah, maka tidaklah mungkin kita mengabaikan kenyataan-kenyataan yang telah terjadi terkait adanya cemaran merkuri akibat tidak terkendalinya aktivitas pertambangan. QS Ar Rum (30) : 41-42 : Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).

Cukup jelas ayat tesebut menjelaskan hubungan sebab akibat yang terjadi antara manusia dengan lingkungannya. Kita perlu memiliki etika lingkungan yakni moralitas dalam bersikap dan memilih tindakan terhadap lingkungan sebagai kesatuan pendukung perikehidupan manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Dengan etika lingkungan kita dapat membatasi tingkah laku kita sebagai upaya mendukung kebutuhan-kebutuhan hidup manusia sehingga setiap aktivitas kita tetap berada dalam batas kelentingan lingkungan hidup.

(Tulisan ini telah dipublish di media lokal Sultra Kini tanggal 30 Agustus 2015 http://www.sultrakini.com/2014/content/view/49911/476/)

Kartu Tanda Anggota IAKMI

by: Ramadhan Tosepu | Diterbitkan 14 September 2015

 

sebaran strIkatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sebagai organisasi profesi kesehatan masyarakat terus membenahi manajemen keanggotaannya, salah satunya dengan mendata dan menerbitkan kartu tanda anggota (KTA) IAKMI. KTA ini memiliki banyak manfaat diantaranya, mengikuti kegiatan yang diselenggaran IAKMI baik seminar ataupun sejenisnya secara free, yang lebih penting lagi dengan adanya KTA ini secara keseluruhan anggota kesehatan masayarkat bisa diketahui jumlahnya, ini sangat penting dalam rangka perencenaan nasional bidang kesehatan.

Sehingga sampai tanggal 8 juni 2015 PP IAKMI mengeluarkan data resmi anggota IAKMI yang berjumlah 10.985, dengan sebaran tertinggi Provinsi Jawa Tengah sebanyak 1.437 atau 13.3 % dan terkecil Provinsi Sulawesi Utara sebanyak 15 orang atau 0.1 %. Wilayah Pengda IAKMI Sultra berjumlah 705 atau 6.5 %, ini menempatkan Sultra berada urutan kelima secara nasional.

Saat ini seluruh Pengda IAKMI masih melakukan proses pendataan anggota kesmas dan selanjutnya mengirimkan data ke PP IAKMI, sehingga sarjana kesehatan masyarakat yang belum memiliki KTA silahkan menghubungi sekterariat Pengda IAKMI masing masing wilayah. Untuk Sulawesi tenggara, SKM yang berada dikabupaten dan kota dapat menghubunggi pengurus cabang masing masing wilayah.